Kapitalisme Politik ala Pengusaha
Kapitalisme
adalah sebuah paham yang meyakini bahwa para pemilik modal bisa melakukan
usahanya untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Tetapi seringkali
kapitalisme itu dicela karena sebagian kaum menanggap kapitalisme adalah suatu
bentuk eksploitasi dan dominasi. Kapitalisme pertama kita kenal menyentuh di bidang
ekonomi dan sekarang mulai merambah ke dunia politik.
Jalannya
roda politik atau pemerintahan selalu digerakkan oleh para orang kaya alias
kaum kapitalis, sehingga terjadilah apa yang disebut sebagai kapitalisme
politik. Dalam cengkeraman kapitalisme politik hanya orang-orang kaya (para
oligarch) yang mampu bersaing dalam medan pertarungan politik.
Kapitalisme
di bidang politik bisa terlihat ketika ada sebuah partai politik yang melakukan
perekrutan anggota. Pada perekrutan ini rata-rata calon anggota yang diterima
adalah orang yang mampu secara finansial tanpa mempertimbangkan kompetensinya.
Ini dikarenakan sebuah partai politik pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit
untuk biaya operasional maupun biaya untuk kegiatan yang akan dilakukan oleh
partai politik itu sendiri. Semakin marak pesta demokrasi yang di gelar maka
semakin banyak pula dana yang dibutuhkan oleh partai politik karena partai
politik pada dasarnya adalah kendaraan politik. Karena semakin mudahnya para
pengusaha masuk ke dunia politik, maka berlomba-lombalah mereka menjadi anggota
suatu partai politik.
Dibalik
riuhnya pesta demokrasi yang dilakukan dengan cara mengadakan pemilihan umum
secara langsung dengan bentuk pemilu ataupun pemilukada ternyata melahirkan sebuah
paham demokrasi yang berbiaya sangat mahal. Karena tingginya biaya politik dan
demokrasi itulah maka hampir semua partai politik berlomba-lomba merekrut para
pengusaha sebagai sponsor dana yang nantinya akan digunakan untuk biaya
kampanye pemilu, kampanye pemilukada, menggerakkan partai atau organisasi massa
pendukungnya, memelihara konstituen, dan merawat infrastruktur.
Karena
diperlukan pembiayaan yang sangat mahal logikanya hanya orang-orang yang punya
dana besarlah yang mampu dan berani maju ke gelanggang pertarungan politik. Dan
akhirnya merekalah yang kemudian menentukan bagaimana alur demokratisasi agar terus
berjalan sesuai harapan mereka dan keuntungan ekonomi-politik dapat merembes
dengan rapi. Para pengusaha hanya menggunakan partai politik sebagai kendaraan
mereka dan semata-mata hanya untuk memuluskan jalan agar usaha mereka berkembang.
Dengan memiliki suatu kekuasaan maka mereka bisa lebih mudah lagi untuk
mengembangkan bisnis dan mendongkrak popularitas usaha mereka.
Kemampuan
finansial partai politik ini juga dapat dijadikan sebuah usaha dalam menebar
praktek money politik yang terjadi di
masyarakat. Justru hal inilah yang telah
membuat peranan partai politik sebagai pilar demokrasi namun menjadi perusak
nilai- nilai demokrasi tersebut.
Banyaknya
pengusaha yang terlibat dalam jajaran pengurus partai politik membuat sebagian
besar masyarakat khawatir, karena para pengusaha biasanya hanya memburu
kepentingan dan keuntungan semata dan kurang memperhatikan orientasi serta
tujuan partai politik untuk mensejahterakan rakyat. Pengusaha hanya akan
melakukan hal-hal yang akan membuat mereka semakin kaya dan tanpa memperdulikan
bagaimana nasib masyarakat kecil yang dulu juga ikut serta mendukung mereka dalam
persaingan untuk mendapatkan kekuasaan.
Rakyat
kecil hanya dianggap sebagai robot yang akan mempermudah para pengusaha dalam
mendapatkan kekuasaan mereka. Rakyat akan diperhatikan dan di dengarkan
menjelang akan diadakannya pemilu, tapi setelah para pengusaha memenangkan
pemilu maka rakyat kecil akan dilupakan begitu saja.
Kekuasaan
yang diraih oleh para politikus konglomerat lebih dianggap sebagai kesempatan
untuk menumpuk kekayaan. Dan kekayaan itu nantinya akan digunakan untuk membeli
dan mempertahankan kursi kekuasaan dan mengendalikan demokrasi. Seorang pengusaha
yang sewajarnya mempunyai naluri dan darah bisnis pastinya mempunyai
hitungan-hitungan tersendiri di setiap langkah politik yang mereka jalankan.
Langkah politik ini seringkali disamakan juga dengan langkah ekonomi, selalu
dibisniskan, atau dilihat dan dikalkulasi untung-rugi secara ekonomi bisnis. Pada
realitanya politik dan demokrasi di negeri ini, di era kapitalisme yang
sekarang ini telah terjadi sebuah pembisnisan politik.
Dari
survei yang berhasil dilakukan oleh suatu media, tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap partai politik cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan media,
ormas, dan LSM. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya kasus-kasus korupsi yang
dilakukan oleh para kader-kader partai politik di ranah pemerintahan. Selain
itu partai politik juga dianggap tidak terbuka dan tidak objektif dalam
melakukan perekrutan kader, sehingga dalam penyelenggaraan pemilu dan
pemilukada tingkat golongan putih selalu tinggi. Selain itu juga para kader
partai politik yang dicalonkan untuk mengisi kursi kepemimpinan cenderung
berasal dari para pengusaha yang dianggap mampu memberikan dana untuk
keberlangsungan kegiatan partai politik tetapi ternyata baru beberapa tahun
saja sudah menjadi tahanan politik.
Kursi
ketua partai, ketua DPP dan DPD, kursi anggota legislatif, dan kursi anggota
eksekutif telah lama terdengar memiliki harga dan nilai ekonomi tertentu yang
diperdagangkan. Bahkan, hingga undang-undang yang dihasilkan para politikus di
Senayan juga umumnya dibarter dengan uang yang nilainya sangat fantastis. Lalu
bagaimana dengan nasib rakyat sendiri sebagai elemen sentral dalam sistem
demokrasi. Rakyat yang seharusnya menjadi objek vital dari demokrasi ternyata
sekarang hanya dijadikan pelengkap saja, bahkan malah menjadi objek kekuasaan.
Jika
sudah begini lalu bagaimana dengan nasib dan kesejahteraan rakyat yang seharusnya
menjadi tujuan paling final dari sistem demokrasi itu sendiri. Kekuasaan hanya
selalu dijadikan tempat untuk menghimpun keuntungan ekonomi-politik. Nasib dan
kesejahteraan rakyat menjadi semakin terabaikan dan hampir terlupakan.
Kritik
kaum neo-marxis terhadap gejala ini adalah Korupsi yang selalu melibatkan
elite-elite politik dan pemangku kekuasaan bersifat alamiah, karena mereka
sejatinya merupakan agen kepentingan kaum kapitalis global-nasional-lokal.
Perilaku para elite-elite politik yang korup hampir menyerupai predator yang
siap menyantap mangsa yang lemah demi kelangsungan hidup mereka tanpa
memperdulikan kepentingan umum. Mereka juga tidak menghiraukan tuntutan pokok
yang pasti disuarakan oleh masyarakat banyak, yaitu kesejahteraan sosial dan
kemakmuran ekonomi bagi masyarakat. Mereka terlibat korupsi karena menjadi
bagian dari pertarungan di antara elite-elite oligarkis yang membajak
lembaga-lembaga politik demokrasi untuk kepentingan melanggengkan sistem
ekonomi kapitalis.
Mereka
mengusung isu demokrasi sebagai dagangan politik untuk menjadi jembatan bagi
para komprador ekonomi kapitalis global nasional-lokal agar mereka dapat
mengoperasikan kegiatan bisnis, dan perburuan rente (lihat Robison & Hadiz,
Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of
Markets, Routledge 2004).
Di
indonesia gejala korupsi-kapitalisme demokrasi menemukan bentuk nyata ketika
terjadi liberalisasi politik yang kemudian menyebabkan semakin
berkembangbiaknya praktik money politik. Praktik money politics dalam konteks
liberalisasi politik telah mengubah demokrasi sebagai sistem kendali kekuasaan
menjadi demokrasi uang, yang menjadikan kekuasaan sebagai medium akumulasi
kapital. Demokrasi uang ditandai oleh dominasi para pemilik modal dalam
percaturan politik nasional terutama dalam peristiwa pemilu legislatif,
pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah.
Demokrasi
yang seharusnya menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan telah runtuh. Impian
rakyat untuk dapat membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan makmur dalam
sistem demokrasi hanya ada di angan-angan saja. Ongkos politik dan biaya
demokrasi di Indonesia menjadi semakin mahal saja. Sebenarnya apa yang sedang
terjadi di negeri kita ini?